Stay in touch
Subscribe to our RSS!
Oh c'mon
Bookmark us!
Have a question?
Get an answer!

Feature Title‎ 1

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit, sed diam nonummy nibh euismod tincidunt ut laoreet dolore magna aliquam erat volutpat... Read More

Feature Title‎ 2

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit, sed diam nonummy nibh euismod tincidunt ut laoreet dolore magna aliquam erat volutpat... Read More

Feature Title‎ 3

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit, sed diam nonummy nibh euismod tincidunt ut laoreet dolore magna aliquam erat volutpat... Read More

Feature Title‎ 4

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit, sed diam nonummy nibh euismod tincidunt ut laoreet dolore magna aliquam erat volutpat... Read More

Feature Title‎ 5

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit, sed diam nonummy nibh euismod tincidunt ut laoreet dolore magna aliquam erat volutpat... Read More

UTSMAN BIN ‘AFFAN

0 komentar

Dia adalah ‘Utsman bin ‘Affan bin Abul ‘Ash bin ‘Umayyah bin Abdu Syams bin Abdu Msnaf,. Dia dipanggil Abu ‘Amr, juga Abu Abdullah. 
Dia dijuluki Dzu Nurain, karena dia satu-satunya laki-laki yang mengawini dua orang putri Nabi saw, juga karena dia mengkhatamkan Al Qur’an dalam shalat witir sehingga ia mendapat dua cahaya yaitu cahaya shalat dan cahaya cahaya qiyam al lail. Ada yang mengatakan setelah masuk surga bercahaya dua kilauan. Nasabnya bertemu dengan nasab Nabi saw pada Abdu Manaf.
Utsman bin Affan termasuk shahabat yang pertama masuk Islam atas ajakan Abu Bakar ra, bersama dengan Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdurahman bin ‘Auf, ‘Utsman bin Affan, Thalhah bin ‘Ubaidillah, dan Zubair bin Awwam. Utsman juga termasuk shahabat Nabi saw yang dipersaksikan masuk surga oleh beliau di antara sepuluh sahabat lainnya.
Sebagian orang menuduh Utsman bin Affan pernah melarikan diri dari perang Uhud, tidak mengikuti perang Badar dan tidak mengikuti Bai’at al Ridwan. Di dalam hal tersebut Ibnu Umar menjelaskan, “Aku jelaskan kepadamu! Tentang dia melarikan diri dari perang Uhud, aku bersaksi bahwa Allah memaafkannya dan mengampuninya. Tentang dia tidak ikut perang Badar, karena putri Rasulullah saw, Ruqayyah –istri Utsman- sedang dalam keadaan sakit, maka Rasulullah saw memerintahkan kepadanya untuk tidak mengikuti perang bersama Usamah bin Zaid. Maka Rasulullah saw bersabda kepadanya, “Kau mendapat pahala orang yang menyaksikan perang Badar dan mendapatkan bagiannya”.
Nabi bersabda, “Barangsiapa mempersiapkan perlengkapan pasukan Al Usrah (Perang Tabuk0 maka baginya surga.” Maka Utsman mempersiapkan perlengkapan itu sebanyak seribu dinar. Dalam riwayat lain: dan dengan tiga ratus ekor onta.
Read More →

THALHAH BIN UBAIDILLAH

0 komentar
         Siapa yang suka melihat seorang laki-laki yang masih berjalan di muka bumi, padahal ia rela memberikan nyawanya, maka hendaklah ia memandang Thalhah …….!”
Dia adalah Thalhah bin Ubaidillah bin Utsman bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Luay. Nasab Thalhah bertemu dengan Rasulullah saw pada Murah bin Ka’ab.
Ketika dalam perjalanan berniaganya ke kota Bashra, Thalhah bin Ubaidillah berjumpa dengan seorang pendeta yang amat baik. Di waktu itu sang pendeta memberi tahu padanya, bahwa ada seorang Nabi yang akan muncul di tanah Haram, sebagaimana  telah diramalkan oleh para Nabi yang shalih, masa tersebut telah datang. Diperingatkannya pula agar Thalhah tidak ketinggalan menyertai kafilah kerasulan itu, yaitu kafilah pembawa petunjuk, rahmat dan pembebasan.
Dan sewaktu Thalhah tiba kembali di negerinya Mekkah, sesudah berbulan-bulan dihabiskannya di Bashra, ia menangkap bisik-bisik penduduk dan mendengar percakapan tentang Muhammad Al Amin dan tentang wahyu yang telah datang kepadanya, begitupun tentang kerasulan yang dibawanya  kepada seluruh umat manusia.
Orang yang mula-mula ditanyakan Thalhah ialah Abu Bakar. Maka diketahuinya bahwa ia baru saja pulang dengan kafilah beserta barang perniagaaannya, dan bahwa ia berdiri di samping Muhammad saw selaku mukmin, sebagai pembela yang menyerahkan dirinya kepada Tuhan pemeliharanya.
Thalhah berbicara kepada dirinya sendiri: ”Muhammad saw dan Abu Bakar, demi Allah, tak mungkin kedua orang ini bersekongkol dalam kesesatan kapanpun”. Muhammad saw telah mencapai usia 40 tahun, masyarakatpun mengenal bahwa belum pernah beliau melakukan kebohongan sampai usianya yang sekian lama itu. Apakah mungkin ia berdusta hari ini terhadap Allah. Apakah mungkin ia berdusta lalu mengatakan bahwa Allah telah mengutusnya dan mengirimkan wahyu kepadanya... Suatu hal yang tidak masuk akal!
Thalhah pun menemui Abu Bakar. Dan berlangsunglah pembicaraan di antara keduanya. Kemudian ia ditemani Abu Bakar pergi kepada Rasulullah saw, dimana ia menyatakan keislamannya dan mengambil tempat dalam kafilah yang diberkati ini, dari angkatan pertama. begitulah Thalhah termasuk orang yang memeluk Islam pada angkatan terdahulu.
Thalhah termasuk seorang yang terpandang dalam kaumnya, dan seorang hartawan besar dengan perniagaan yang selalu meningkat. Apabila ia telah melaksanakan haq Tuhan Pemeliharanya, dengan beribadah dan berjihad, ia pergi berusaha di muka bumi, mencari keridhaan Allah dengan mengembangkan perniagaannya yang memberi laba, dan usaha-usaha lain yang membawa hasil. Thalhah ra adalah seorang Muslimin yang terbanyak hartanya dan paling berkembang kejayaannya. Semua harta bendanya dipergunakannya untuk perjuangan Islam, yang benderanya dipanggulnya bersama Rasulullah saw. Dinafqahkannya hartanya tanpa batas dan oleh sebab itu pula Allah menambahkan untuknya secara tak berhingga pula.
Rasulullah saw memberinya gelar “Thalhah si baik hati” atau “Thalah si pemurah” dan “Thalhah si dermawan” sebagai pujian atas kedermawanannya yang melimpah-limpah. dan setiap kali mengeluarkan hartanya sebegitu banyak, maka ternyata Allah yang Maha Pemurah menggantinya berlipat ganda.
Istrinya Su’da bin Auf menceritakan, katanya: ”Suatu hari saya menemukan Thalhah berduka cita, aku bertanya kepadanya: ”Ada apa denganmu..?” Maka jawabnya: ”Soal harta yang ada padaku ini..!” semakin banyak juga, hingga menyusahkan dan menyempitkanku!” Katanya: ”Tidak jadi soal, bagi-bagikan saja!” Ia lalu berdiri memanggil orang banyak, kemudian membagi-bagikannya kepada mereka, hingga tidak ada yang tinggal lagi walau satu dirham..”
Di suatu saat setelah ia menjual sebidang tanah dengan harga yang tinggi, maka dilihatnya tumukan harta. Lalu mengalirlah air matanya, kemudian dia berkata: ”Sungguh, bila seseorang dibebani memalami harta yang begini banyaknya dan tidak tahu apa yang akan terjadi pasti akan menggangu ketentraman ibadah kepada Allah”. Kemudian dipanggilnya sebagian shahabatnya dan bersama-sama mereka membawa hartanya itu berkeliling melalui jalan-jalan kota Madinah dan rumah-rumahnya sambil membagi-bagikannya sampai parak siang  sehingga tiada yang tertinggal lagi walau satu dirham.
Jabir bin Abdullah menggambarkan pula kepemurahan Thalhah dengan berkata: ”Tak pernah aku melihat seseorang yang lebih dermawan dengan memberikan hartanya yang banyak tanpa diminta lebih dahulu, daripada Thalhah bin Ubaidillah..!”
Ia adalah seorang yang paling banyak berbuat baik kepada keluarga dan kaum kerabatnya; ditanggungnya nafqah mereka semua sekalipun demikian banyaknya. Sebagian orang mengatakan: ”Tak seorangpun dari bani Taim yang mempunyai tanggungan, melainkan dicukupinya perbelanjaan keluarganya. Dinikahkannya anak-anak yatim mereka, diberinya pekerjaan keluarga mereka dan dilunasinya hutang-hutang mereka….”
As Sa’ib bin Zaid menceritakan: “Aku telah menemui Thalhah baik dalam perjalanan maupun waktu menetap, maka tak pernah kujumpai seseorang yang lebih merata kepemurahannya, baik mengenai uang, kain atau makanan daripada Thalhah.”
Sebagai orang yang pertama masuk Islam, Thalhah menyeksikan dan merasakan berbagai macam penderitaan akibat penganiayaan dan siksaan karena keislamannya, yang dilakukan oleh orang kafir Quraisy sebagaimana yang dialami kaum muslimin yang lain, sekalipun ia orang yang terpandang dalam kaumnya, dan seorang hartawan besar dengan perniagaan yang selalu meningkat. Hanya saja Thalhah dan Abu Bakar mendapat perlindungan dari Naufal bin Khuwailid, si singa Quraisy paman Khadijah, istri Rasul saw. sehingga penganiaaya terhadap keduanya tidak  berlangsung  lama, karena orang-orang musryrik Quraisy merasa segan kepadanya serta takut pula akan akibat perbuatan mereka.
Thalhah ikut berhijrah ke Madinah sewaktu orang-orang Islam diperintahkan hijrah. Kemudian ia selalu menyaksikan semua peperangan bersama Rasulullah saw, kecuali perang Badar, karena waktu itu Rasul saw mengutusnya bersama Sa’ad bin Zaid untuk suatu keperluan penting keluar kota Madinah.
Sewaktu keduanya telah menyelesaikan tugas mereka dengan baik, dan kembali ke Madinah, kebetulah Nabi saw dengan para shahabatnya yang lain sedang kembali pula dari perang Badar. Alangkah sedih dan perih perasaan keduanya kehilangan pahala karena tidak menyertai Rasulullah saw berjihad dalam peperangan yang pertama itu.
Tetapi Rasul saw  menentramkan hati mereka hingga tenang dan mantap dengan memberitahukan bahwa mereka tetap memperoleh pahala dan ganjaran yang sama seperti orang-orang yang berperang. Bahkan Rasul saw membagikan rampasan  perang kepada keduanya, tidak kurang dari mereka yang didapat oleh mereka yang menyertainya.
Ketika terjadi perang Uhud yang memperlihatkan segala kebengisan dan kekejaman Quraisy, yang tampil hendak membalas dendam atas kekalahannya di perang Badar dan  untuk mengamankan tujuan terakhirnya dengan menimpakan kekalahan yang menentukan atas Muslimin yang menurut perkiraan mereka suatu soal mudah dan pasti dapat terlaksana.
Peperangan dahsyat pun  berlangsung dan korban-korban yang berjatuhan, kekalahan tampak berada di fihak kaum musyrikin. Kemudian sewaktu kaum Muslimin melihat musuh mengundurkan diri, mereka sama meletakkan senjata dan para pemanah turun meninggalkan kedudukan mereka, pergi memperebutkan harta rampasan.
Tiba-tiba sewaktu mereka lengah, pasukan Quraisy menyerang kembali dari belakang hingga berhasil merebut prakarsa dan menguasai kendali pertempuran. Sekarang peperangan mulai berkecamuk lagi dengan segala kekejaman dan kedahsyatannya. Serangan mendadak yang tiba-tiba itu, rupanya telah menceraiberaikan barisan Kaum Muslimin. Thalhah memperhatikan daerah peperangan tempat Rasulullah saw bediri. Dilihatnya Rasulullah saw menjadi sasaran empuk serbuan pasukan penyembah berhala dan musyrik, maka ia pun dengan cepat bersegera ke arah Rasullah saw. Thalhah ra. terus maju menebas jalan yang walaupun pendek tetapi terasa panjang, setiap jengkal jalan dihadang puluhan pedang yang bersilang dan tombak-tombak yang mencari  mangsanya.
Dari jauh dilihatnya Rasulullah saw bercucuran darah dari pipinya, sedang berjalan menahan kesakitan yang amat sangat. Ia naik pitam dan berang, lalu diambilnya jalan pintas dengan satu atau dua lompatan dahsyat dari kudanya dan benarlah, dihadapan Rasulullah saw sekarang ia menemukan apa yang ditakutinya, pedang-pedang musyrikin menyambar-nyambar kearah Rasul saw, mengepung dan hendak membinasakannya, bagaikan satu peleton tentara, Thalhah berdiri kokoh dan mengayunkan pedangnya yang ampuh ke kiri dan ke kanan. Ia dapat melihat darah Rasul saw yang mulia menetes dan mendengar rintihan kesakitannya. Maka diraihnya Nabi saw dengan tangan kiri dari lobang tempat kakinya terperosok, sambil memapah Rasul saw  yang mulia dengan dekapan tangan kiri ke dadanya, ia mundur ke tempat  yang aman, sementara tangan kanannya – Allah memberkati tangan kanannya – mengayun-ayunkan pedangnya bagaikan kilat menusuk dan menyabet orang-orang musyrik yang hendak mengerumuni Rasul saw bagaikan belalang memenuhi medan pertempuran.
Bakar Shidiq ra menggambarkan keadaman medan tempur kala itu, kata Aisyah: ”Bila disebutkan perang Uhud, maka Abu Bakar berkata: ”Itu semuanya adalah hari Thalhah…! Aku adalah orang yang mula-mula mendapatkan Nabi saw, maka berkatalah Rasul saw kepadaku dan kepada Abu Ubaidah Ibnul Jarrah: ”Tolong, saudaramu itu…(Thalhah)!” Kami lalu menengoknya, dan ternyata pada sekujur tubuhnya terdapat lebih dari tujuh puluh  luka berupa tusukan tombak, sobekan pedang dan tancapan panah, dan ternyata anak jarinya putus, maka kami segera merawatnya dengan baik.”
Semua medan tempur dan peperangan Thalhah selalu berada di barisan terdepan, mencari keridhaan Allah dan membela Rasul-Nya. Thalhah hidup di tengah-tengah jama’ah Muslimin, mengabdi kepada Allah bersama mereka yang beribadah, dan berjihad di jalan-Nya bersama mujahidin yang lain. 
Pada masa Khilafah Utsman ra. timbul masalah besar besar, Thalhah menyokong alasan mereka yang menentang Utsman dan membenarkan sebagian tuntutan mereka mengenai perubahan dan perbaikan. Akan tetapi, akhir dari haltesebut adalah hal yang sama sekali tidak diinginkan, yaitu terbunuhnya “Dzun Nur’ain” Utsman bin ‘Affan dalam peristiwa berdarah dan kejam.
Setelah itu, Ali bin Abi Thalib menerima Bai’at dari kaum Muslimin di Mdinah, di antaranya Thalhah dan Zubair, kemudian keduanya meminta izin pergi melaksanakan ‘umrah ke Mekkah. Dari Mekkah mereka menuju Bashra dan disana telah berhimpun banyak kekuatan yang hendak menuntut bela kematian Utsman. “Waq’atul Jammal” atau peristiwa perang Berunta adalah peran di mana bertempur dua pasukan, yang satu menuntut bela atas terbunuhnya Utsman dan yang lain pasukan khalifah yang sah di bawah Khalifah Ali bin Abi Thalib ra.
Adapun Imam Ali dalam memikirkan situasi sulit yang sedang melanda Islam dan Kaum Muslimin, diapun bersedih namun ia dipaksa untuk bertindak keras dan tegas dalam kedudukannya selaku khalifah Muslimin, tak ada jalan lain, dan tidak sepantasnya ia bersikap lunak terhadap pembangkanan atas pemerintahan yang sah, atau terhadap setiap pemberontakan bersenjata melawan Khalifah yang telah dikukuhkan syari’at.
Di kala ia bangkit untuk memadamkan pemberontakan semcam ini, maka ia selalu mencari jalan untuk menghindarkan tertumpahnya darah saudara-saudaranya, para shahabat dan teman-temannya, para pengikut Rasulullah saw, yaitu mereka yang semenjak lama telah berperang bersamanya melawan tentara musyrik, menerjuni pertempuran bahu-membahu di bawah bendera tauhid yang mempersatukan mereka sebagai satu keluarga, bahkan menjadikan mereka sebagai saudara kandung yang saling membela.
Peperangan tidak dapat dihindari, Ali menangis dan mengucurkan air mata sewatu ia melihat Ummul Mu’minin, Aisyah, yang juga sebagai istri mertuanya, dalam sekedup untanya, bertindak sebagai panglima perang bala tentara yang hendak memerangnya, dan Thalhah dan Zubair, pembela-pembela Rasulullah saw itu berada di tengah-tengah pasukan Aisyah. Ali memanggil Thalhah dan Zubair agar keduanya muncul menghadapnya, keduanya pun tampil hingga leher kuda-kuda  mereka bersentuhan. Ali berkata kepada Thalhah :” Hai Thalhah, pantaskah engkau membawa isteri Rasulullah untuk berperang, sedangkan istrimu sendiri kau tinggalkan di rumah?” Kemudian katanya kepada Zubair: ”Aku minta kau jawab karena Allah! Tidakkah engkau ingat, di suatu hari Rasulullah saw lewat di hadapanmu sedang ketika itu kita sedang berada di tempat si fulan. Beliau berkata kepadamu:” Wahai Zubair tidakkah engkau cinta kepada Ali?, maka jawabmu, ”Mengapa aku tidak cinta kepada saudara sepupuku, anak bibi dan anak pamanku, serta orang yang satu agama denganku?” Waktu itu beliau berkata lagi:” Hai Zubair, demi Allah, bila engkau memeranginya, jelas engkau berlaku dhalim kepadanya!” Waktu itu berkatalah Zubair  ra.: “Ya, sekarang aku ingat, hampir aku melupakannya! Demi Allah aku tak akan memerangimu.!”
Thalhah dan Zubair menarik diri dari perang saudara ini. mereka menghentikan peperangan segera setelah tahu duduk persoalannya, apalagi ketika mereka melihat Ammar bin Yasir berperang di fihak Ali. Mereka teringat akan sabda Rasulullah saw kepada Ammar: ”Yang akan membunuhmu ialah golongan orang durhaka..!” Seandainya Ammar terbunuh dalam peperangan yang disertai Thalhah ini, tentulah ia termasuk golongan orang-orang yang durhaka.
Thalhah dan Zubair mengundurkan diri dari peperangan, dan mereka terpaksa membayar harga pengunduran itu sampai nyawa mereka. Tetapi mereka beruntung dapat menemui Allah dengan hati yang senang dan tentram, disebabkan karunia yang tela dilimpahkanNya kepada mereka, berupa petunjuk dan fikiran yang benar.
Adapun Zubair ia telah diikuti seorang laki-laki bernama Amru bin Jarmuz yang membunuhnya dikala ia sedang lengah, yakni sewaku ia sedang shalat. Sedangkan Thalhah, ia dipanah  oleh Marwan bin Hakam yang menghabisi hayatnya. Akhirnya, Ummul Mu’minin, Asyah ra menyadari bahwa ia telah tergesa-gesa dalam menghadapai persoalan itu, karena itu ditinggalkannya Bashra menuju Baitul Haram dan terus ke Madinah, tak hendak campur tangan lagi  dalam pertarungan itu. Ia dibekali oleh Imam Ali dalam perjalanannya dengan segala perbekalan dan diringi penghormatan.
Sewaktu Ali meninjau orang-orang yang gugur sebagai syuhada di medan tempur, semua mereka dishalatkannya, baik yang bertempur dipihaknya maupun  yang menentangnya. Dan tatkala keduanya selesai memakamkan Thalhah dan Zubair, ia berdiri melepas keduanya dengan kata;-kata indah dan mulia, yang disudahinya dengan kalimat-kalimat berikut ini: “Sesungguhnya aku amat mengharapkan agar aku bersama Thalhah dan Zubair dan Utsman, termasuk diantara orang-orang yang difirmankan Allah: “Dan kami cabut apa yang bersarang dalam dada mereka dari kebencian sebagai layaknya orang bersaudara dan di atas pelaminan mereka bercengkrama berhadap-hadapan”  
Kemudian disapunya makam mereka dengan pandangan kasih sayang, yang keluar dari hati bersih dan penuh belas kasih seraya berkata: “Kedua telingaku telah mendengar sendiri sabda Rasulullah saw: ”Thalhah dan Zubair menjadi tetanggaku dalam surga”.
Read More →

SAAD BIN ABI WAQQASH

0 komentar
Nama asli Sa’ad bin Abi Waqqash adalah Malik bin Uhaib bin Abdu Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Ka’ab bin Luay. Sa’ad mempunyai banyak keistimewaan, di antaranya adalah dialah orang yang pertama-tama melepaskan anak panah dalam membela diin Allah dan juga orang yang pertama terkena anak panah. Dia juga satu-satunya orang yang dijamin Rasulullah saw dengan jaminan kedua orang tua beliau. Rasulullah saw bersabda pada perang Uhud, ”Panahlah wahai Sa’ad, ibu bapakku menjadi jaminan bagimu.”
Sa’ad juga seorang yang sangat mahir berkuda dan menjadi anggota pasukan berkuda pada perang Badar dan perang Uhud. Dia juga mempunyai dua senjata yang sangat handal, yaitu do’a dan panahnya. Do’a Sa’ad dikabulkan Allah dan bidikan panahnya senantiasa tepat. Rasulullah saw pernah bersabda, ”Ya Allah, tepatkan bidikan panahnya dan kabulkanlah do’anya.”
Sa’ad juga seorang yang kaya raya dengan harta yang halal dan menolak harta yang syubhat, makannya dan lisannya terpelihara dengan kesucian. Sa’ad termasuk salah seorang di antara sepuluh orang yang dipersaksikan Rasulullah saw masuk surga. Rasulullah saw pernah bersabda, ”Sekarang akan muncul di hadapan kalian seorang laki-laki penduduk surga.” yang dimaksaud adalah Sa’ad bin Abi Waqqash.
Ketika Abdullah bin ’Amar bin ’Ash bertanya kepadanya tentang amal yang dapat mendekatkan direi kepada Allah. Sa’ad menjawab, ”Tak lebih dari amal ibadah yang biasa kita kerjakan, hanya saja saya tidak pernah menaruh dendam atau niat jahat kepada seorangpun di antra kaum muslimin.”
Sa’ad masuk Islam pada usia 17 tahun bersama Abdurahman bin ‘Auf, ‘Utsman bin Affan, Thalhah bin ‘Ubaidillah, dan Zubair bin Awwam, dengan sebab dakwah Abu Bakar ra. Ketika Sa’ad masuk Islam, ibunya mencegah dan menghalang-halangi dengan segala cara, sampai-sampai ibunya melakukan aksi mogok makan dan minum dengan harapan Sa’ad mau kembali kepada kemusyrikan.
Namun Sa’ad tidak terpengaruh akan hal itu. Ia tetap pada pendiriannya di dalam keimanan kepada Allah dan Rasul-nya. Ketika kondisi ibunya semakin kritis akibat mogok makan tersebut, keluarganya membawa sa’ad menyaksikannya untuk terakhir kalinya dengan harapan hatinya melunak jika melihat ibunya sekarat. Tetapi keimanan di hati Sa’ad yang kuat tidak mampu mengubah keaadaannya. Diapun berkata dengan lantang, “Demi Allah, ketahuilah wahai ibunda, seandainya ibu mempunyai seratus nyawa, lalu ia keluar satu persatu, tidaklah aku akan meninggalkan diin ini walau ditebus dengan apapun juga ! Maka terserahlah pada ibu, apakah ibu akan makan atau tidak!” Akhirnya ibunya mundur setelah tidak mampu merubah keyakinan Sa’ad.
Ketika Rasulullah saw memulai dakwah di Mekkah, kaum musyrikin melakukan perlawanan terhadapnya. Berbagai macam penindasan dan penyiksaan dialami oleh kaum muslimin. Tidak terkecuali, Sa’adpun mengalami masa tersebut sebagaimana sahabat lainnya. Di masa Madinah Sa’ad juga mengalami berbagai pertempuran yang dilakukan bersama Nabi saw.
Ketika hendak menyerang Persia, Khalifah Umar bin Al Khaththab hendak memimpin sendiri pertempuran tersebut dengan menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai wakilnya di Madinah. Atas usul Abdurrahman bin’Auf, Umarpun kembali ke Madinah setelah bermusyawarah dengan kaum muslimin, karena sangat disayangkan apabila Umar terbunuh waktu itu, karena Islam sangat membutuhkannya.
Akhirnya Sa’ad bin Abi Waqqash di angkat sebagai gubernur militer di Iraq yang bertugas mengatur pemerintahan dan sebagai panglima perang.  Perang Qadisiyah, dimana pasukan Persia yang terdiri atas 100.000 orang prajurit yang terlatih, dilengkapi dengan persenjataan dan alat pertahanan yang ditakuti dunia saat itu, dipimpin oleh para jenderal yang hebat dan ahli-ahli siasat perang yang cerdik dan licik, sementara Sa’ad memimpin hanya 30.000 ribu prajurit.
Ketika kedua pasukan hampir bertemu, Sa’ad meminta pengarahan dari Khalifah Umar bin Al Khaththab, maka ’Umar memberi pengarahan yang antara lain peringatan bahwa tidak ada hubungan antara keluarga kecuali atas dasar ketaatan kepada Allah dan agar berpegang teguh kepada Rasulullah saw semenjak di utus dan agar mereka tidak gentar menghadapi musuh. Sa’ad menulis surat kepada ’Umar yang menjelaskan posisi pasukannya.
Ketika pasukan Persia yang dipimpin rustum telah menduduki Sabath dengan mengerahkan pasukan gajah dan berkudanya, dan mulai bergerak menuju kaum muslimin dan tak ada pilihan lain kecuali perang, sementara saat itu Sa’ad sedang sakit bisul di sekujur tubuhnya hingga tidak dapat duduk apalagi menaiki kuda dalam pertempuran yang bisa dipastikan akan bersimbah darah.
Tanpa menghiraukan rasa sakit, Sa’ad memimpin prajurit muslimin saat itu sehingga prajurit mslim sanggup menewaskan panglima pasukan musuh dan prajurit-prajurit pilihan mereka dan akhirnya mereka berhasil dihaklau prajurit muslimin hingga sampai Nahawand lalu ke Madain. Preestasi gemilang Sa’ad bin Abi Waqqash terukir....
Dua setengah tahun berlalu dari perang Qadisiyah yang dimenangkan kaum muslimin dibawan komandan Sa’ad bin Abi Waqqash, Sa’ad kembali mengerahkan pasukannya ke Madain untuk membersihkan sisa-sisa tentara Persi. Dengan menyeberangi sungai Tigris yan saat itu sedang banjir dan stategi perang yang sangat hebat, Saat bin AbiWaqqsh berhasil mengalahkan Persia di Madain. Saad di angkat oleh Umar sebagai gubernur wilayah Iraq. Iapun melai pembangunan dan perluasan kota. Kota Kuffah diperluas, dia mengumumkan berlakunya syari’at Islam di wilayah yang luas itu.
Ketiaka terjadi fitnah besar, pada kaum muslimin dengan memberontaknya Muawiyah terhadap kekhalifahan ali bin Abi Thalib ra. Sa’ad tidak hendak mencampurinya, bahkan dia berpesan kepada keluarga dan anak-anaknya untuk tidak menyampaikan suatu berita apapun mengenai hal itu kepadanya.
Ketika anak saudaranya, Hasyim bin Utbah mengatakan kepadanya, “Paman, di sini telah siap seratus ribu bilah pedang, yang menganggap bahwa pamanlah yang lebih berhak mengenai urusan ini.” Sa’adpun menjawab, “Dari seratus ribu bilah pedang itu, yang aku inginkan hanya sebilah pedang yang apabila aku tebaskan kepada seorang mukmin tak akan mempen sedikitpun, tetapi apabila aku tebaskan kepada kaum kafir pastilah putus batang lehernya!”
Tatkala kekhalifahan jatuh ke tangan Muawiyah dan Muawiyah bertanya kepaanya, mengapa dia tidak berperang dipihaknya. Sa’ad menjawab, “Saya tidak hendak memerangi seorang laki-laki –maksudnya Ali bin Abi Thalib- yang mengenai diriya Rasulullah saw bersabda: Engkau di sampingku, tak ubahnya seperti kedudukan Hrun di samping Musa, tetapi tidak ada nabi sesudahku!”
Pada tahun 54 hijriyah pada usia lebih dari 80 tahun Sa’ad bin Abi Waqqash meninggal dunia dengan dikafani sehelai kain tua dan lapuk yang sebelumnya dia katakana, “Telah kuhadapi orang-orang musyrik pada perang Badar dengan kain ini dan ia telah kusimpan sekian lama untuk keperluan seperti nin.” Sa’ad bin Abi Waqqas dimakamkan di makam Baqi’
Read More →

ABDURAHMAN BIN ‘AUF

0 komentar
         Dia adalah Abdurrahman bin ‘Auf  bin Abdu Auf bin Abd bin Al Harts bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay. Abdurahman bin ‘Auf termasuk orang yang pertama-tama masuk Islam bersama ‘Utsman bin Affan, Thalhah bin ‘Ubaidillah, Zubair bin Awwam dan Sa’ad bin Abi Waqqash, dengan sebab dakwah Abu Bakar ra. Dia ikut merasakan penderitaan akibat penindasan dan penganiayaan kaum Quraisy kepada kaum muslimin yang masih lemah.
Pada waktu Nabi saw memerintahkan sahabat berhjrah ke Habasyah, ia ikut berhijrah ke Habasyah. Kemudian kembali lagi ke Mekkah. Setelah di Mekkah, penindasan yang dilakukan kaum musyrik tetap tidak kunjung mereda, Nabi saw pun memerintahkan mereka hijrah kedua kalinya ke Habasyah, Abdurrahman bin ‘Auf pun hujrah ke Habasyah kedua kalinya. Kemudian dia berhijrah ke Madinah.
Abdurrahman bin ‘Auf adalah orang yang sangat sukses di dalam perniagaannya, sehingga dia menjadi orang yang sangat kaya raya. Allah memberinya keberkahan dalam perniagaannya sehingga dirinyapun merasa takjub, seraya berkata, “Sungguh kulihat diriku, seandainya aku mengangkat batu, niscaya ketemukan di bawahnya emas dan parak.”
Ketika Rasulullah saw mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar, maka Abdurrahman bin ‘Auf dipersaudarakan dengan Sa’ad bin Rabi’, seorang Anshar. Sa’ad berkata kepadanya, “Saudaraku, aku adalah penduduk Madinah yang kaya, silahkan pilih separuh hartaku dan ambillah! Dan aku mempunyai dua orang istri, coba perhatikan yang lebih menarik bagimu, akan kuceraikan dia sehingga engkau bisa memperistrikannya.”
Abdurrahman bin ‘Auf menjawab, “Semoga Allah memberkahimu, istrimu dan hartamu! Tunjukkan kepadaku pasar agar aku bisa berniaga.” Tidak begitu lama berdagang, dia memperoleh keuntungan yang besar, akhirnya diapun menjadi orang yang kaya raya.
Keedermawanan Abdurrahman bin ‘Auf terhadap hartanya yang melimpah seakan-akan tidak ada yang menyamai. Sebagai gambaran, Abdurrahman bin ‘Auf pernah membawa kafilah dari Syam yang terdiri atas 700 ekor onta yang sarat dengan bahan makanan di atasnya, maka dia pun menyedekahkan kepada penduduk Madinah. Aisyah ra. berkata ketika mendengar hal tersebut, “Ingat, aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Kulihat Abdurrahman bin ‘Auf masuk surga dengan perlahan-lahan’.
Abdurrahman bin ‘Auf berkata, “Engkau telah mengingatkanku dengan suatu hadits yang tidak pernah kulupakan…” kemudian katanya, “Dengan ini aku berharap dengan sangat agar engkau menjadi saksi, bahwa kafilah ini dengan semua muatannya, berikut kendaraan dan perlengkapannya, kupersembahkan di jalan Allah azza wa jalla”.
Pada suatu hari Abdurrahman bin Auf menjual tanah seharga 40.000 dinar, kemudian uang itu dibagi-bagikannya semua untuk Bani Zuhrah, untuk istri-istri Nabi saw dan untuk kaum fakir miskin. Disedekahkannya pada suatu hari, 500 ekor kuda untuk perlengkapan pearang bala tentara Islam. Di hari lain dia menyerahkan 1500 ekor kuda juga untuk keperluan jihad di jalan Allah.
Menjelang wafatnya, dia mewasiyatkan 50.000 dinar untuk sabilillah dan dia mewasiyatkan juga bagi sahabat yang ikut dalam perang Badar dan masih hidup, masing-masing 400 dinar, hingga ‘Utsman bin Affan ra, yang terbilang kaya juga mengambil bagiannya dari wasiyat itu, seraya berkata, “Harta Abdurrahman bin Auf halal lagi bersih dan memakan harta itu membawa keselamatan dan keberkahan.”
Keutamaannya sebagai seorang sahabat yang masuk Islam pertama-tama, persaksian Rasullullah saw bahwa dia termasuk salah satu di antara sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, kekayaan yang disertai kedermawanan yang tiada tara dan tiga kali hijrah yang dia lakukan dan banyaknya pertempuran bersama Rasulullah yang dia ikuti, tidaklah membuat dia menyombongkan diri, bahkan dengan rendah diri.
Suatu hari, ketika dihidangkan kepadanya makanan berbuka puasa, dan selera makannya timbul. Namun dia menangis sambil berkata, “Mush’af bin ‘Umair telah gugur sebagai syahid, ia seorang yang jauh lebih baik dariku, sedang ia hanya mendapat kafan sehelai burdah, jika ditutupkan ke kepalanya maka kelihatan dua kakinya, dan jika ditutupkan ke kedua kakinya, terbukalah kepalanya.” Katanya juga, “Hamzah jauh lebih baik daripada diriku, iapun gugur sebagai syahid, dan ia disaat dikuburkan hanya terdapat baginya sehelai selendang. Telah dihamparkan bagi kami dunia seluas-luasnya, dan telah diberikan pula kepada kami hasil sebanyak-banyaknya. Sungguh kami khawatir kalau telah didahulukan pahala kebaikan kami.”
Pada suatu hari yang lain, ketika para sahabat menghadiri jamuan makan di rumahnya, iapun menangis. Seorang sahabat bertanya, “Mengapa kau menangis, ya Abu Muhammad,..” Diapun berkata, “Rasulullah saw wafat tidak pernah beliau dan keluarganya sampai kenyang makan roti gandum, apa harapan kita jika dipanjangkan usia tetapi tidak menambah kebaikan bagi kita.’
Dari sisi perjuangannya di jalan Allah, Abdurrahman bin ‘Auf telah banyak sekali berjasa kepada Islam dan kaum muslimin sejak permulaan dakwah, masa Madinah sampai akhir hayatnya. Di tubuhnya terdapat dua puluh bekas luka pada perang Uhud dan salah satu dari bekas luka itu menyebabkan dia pincang yang tidak sembuh-sembuh, dan beberapa giginya rontok yang menyebabkan kecadelan dalam perkataannya.
Sewaktu Umar bin Al Khaththab hendak meninggal, dia memilih enam orang untuk diangkat sebagai khalifah penggantinya. Enam orang sahabat tersebut sepakat mengangkat Abdurrahman bin ‘Auf sebagai khalifah. Namun dia berkata, “Demi Allah, daripada aku menerima jabatan itu, lebih baik ambil pisau lalu taruh ke atas leherku kemudian kalian tusukkan sehingga tembus ke sebelah.”
Demikianlah dia, sifat zuhudnya dan tidak gila kekuasaan, menjadikan dia melepaskan haknya sebagai khalifah. Setelah menyelesaikan tugasnya mengawal dan membela Islam sejak pertama kali, Abdurrahman bin ‘Auf mengakhiri hidupnya pada tahun 32 hijriyah. Aisyah ra memberinya kemuliaan dengan menyediakan kuburan di pekarangannya, dekat makam Rasulullah saw, Abu Bakar dan Umar.
Namun pendidikan Islam yang sempurna dari Rasulullah saw menjadikan dia merasa malu mendapat kemuliaan tersebut. Maka dia menolak kemuliaan itu karena merasa malu dengan kedudukan itu, di samping itu dia pernah berjanji dengan Utsman bin Madh’un, yaitu jika salah seorang di antara mereka meninggal sesudah yang lain, hendaklah dikuburkan di dekat sahabatnya.
Umar ra pernah berkata: “Rasulullah saw wafat dalam keadaan ridha kepada mereka.” Rasulullah saw pernah bersabda, “Abdurahman bin ‘Auf di dalam surga.”
Read More →

ABU BAKAR

0 komentar

Nama asli Abu Bakar adalah Abdullah bin Abu Quhafah bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr. Abu Bakar lahir pada tahun 573 M, ibunya bernama Umul Khair. Orang tuanya mendidiknya dengan baik, sehingga Abu Bakar tumbuh menjadi seorang yang ramah, tidak sombong dan dermawan yang sangat gemar menolong orang lain. Di samping itu dia juga mempunyai sifat kepemimpinan yang menonjol yaitu mampu menengahi dan menyelesaikan pertikaian dan permusuhan dengan baik di antara masyarakatnya, sehingga kedua belah pihak merasa puas dan senang. Dengan sifat yang baik itu, membuat Abu Bakar mampu menjalankan tugas sebagai diyat. Pada waktu itu di masyarakat Mekah dipegang oleh semacam badan pemerintahan oligarki, yang terdiri atas sepuluh orang yang bergelar asy syarif. Mereka adalah wakil-wakil suku atau kabilah. Masing-masing wakil kabilah memegang suatu jabatan tertentu, dan dijabat secara turun temurun. Jabatan diyat yang membidangi masalah pengadilan dan kehakiman ini dipegang oleh Abdullah bin Abu Quhafah.
Di samping itu, Abdullah juga dikenal sebagai seorang pedagang yang sukses, sehingga dia menjadi seorang hartawan yang terkemuka. Dalam hal pergaulan, Abdullah dikenal sebagai orang yang sangat baik pergaulannya. Terlebih lagi pergaulannya dengan Muhammad bin Abdullah. Kedua orang ini dikenal sebagai orang-orang yang berakhlaq sangat baik. Di samping kedua orang itu masih terikat hubungan kekerabatan. Sehingga hubungan Muhammad dan Abdullah sudah terjalin sangat baik sejak kecil.
Ketika Muhammad saw menerima wahyu pertama kali, yang kemudian disusul dengan wahyu yang berisi perintah memberi peringatan kepada kaumnya. Maka beberapa orang mengimani wahyu itu di antaranya adalah Khadijah, Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Haritsah. Setelah ketiga orang penghuni rumahnya masuk Islam, Rasulullah saw mengajak Abu Bakar masuk Islam. Dengan pikirannya yang jernih, pandangannya yang luas dan baiknya persahabatan di antara keduanya, Abdullahpun masuk Islam. Dia termasuk orang keempat yang masuk Islam.
Setelah masuk Islam, Abu Bakar dengan sembunyi-sembunyi juga turut mendakwahkan Islam. Dengan kedudukan dan pengaruhnya yang baik di kalangan masyarakat Mekkah, iapun mampu mengajak orang masuk Isla. Diantaranya adalah Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Sa'ad bin Abi waqash, Abdurrahman bin Auf, Talhah bin Ubaidillah, Abu Ubaidillah bin Jarrah, arqam bin Abi arqam, Fathimah binti al Khathab dan suaminya, sa'id bin Zaid al 'adawi dan beberapa pendduduk Mekkah lainnya.
Peranan Abu Bakar di dalam dakwah Islam ini sangat besar. Ketika masih berlangsung dakwah sirriyah saja, Abu Bakar mampu mengajak lebih dari sepuluh orang untuk masuk Islam. Lebih-lebih ketika dakwah itu sudah dilakukan dengan terang-terangan, terutama didalam memerdekakan budak-bukad yang disiksa majikannya ketika mereka masuk Islam yang antara lain adalah Bilal bin Rabah dan Amir bin Fuhairah. Bahkan beberapa orang di antaranya dibeli dan dimerdekakan Abu Bakar dengan harga yang sangat mahal.
Hubungan rasulullah saw dan Abu Bakar semakin akrab ketika Islam telah disiarkan. Bahkan Abu Bakar adalah orang yang selalu menyertai Rasulullah dalam mendakwahkan agama ini. Ketika Rasulullah saw memerintahkan kaum muslimin berhijrah ke Habasyah, karena beratnya penyiksaan dan tekanan kaum kafir Quraisy kepada kaum Muslimin, Rasulullah saw juga menganjurkan Abu Bakar untuk turut berhijrah pula. Anjuran Rasulullah sawpun di tolak, karena dia ingin ikut melindungi dan menyertai Rasulullah dalam menghadapi penentangan kaum musyrikin.
Pada waktu terjadinya hijrah ke Madinah, kesetiaan Abu Bakar teruji kembali. Dalam upayanya menyelamatkan Rasulullah dari kejaran kaum musyrikin, Abu Bakar yang ikut menyertai Rasulullah saw berhijrah ke Madinah. Pada waktu keduanya bersembunyi di Goa Tsur, Abu Bakar merobek bajunya untuk alas tidur. Kepala Rasulullah saw ditidurkan dia tas pangkuannya di atas sobekan bajunya. Rasulullah tertidur dengan nyenyaknya karena saking letih dan penat, sedangkan Abu Baker tidak tidur karena khawatir akan datangnya musuh.
Pada tengah malam ketika Rasulullah saw sedang nyenyak tidur, Abu Bakar disengat kalajengking. Ia meresa sakit yang luar biasa. Namun dia menahannya sekuat tenaga karena dia tidak mau membangunkan Rasulullah saw yang sedang tidur, bahkan Abu Bakar berusaha tidak bergerak padahal sakitnya semakin menjadi-jadi. Tetapi akhirnya Abu Bakar tidak dapat menahan air matanya yang menetes. Air mata itu jatuh di wajah Rasulullah saw, dan beliaupun baru terbangun.
Pada tahun ke 9 hijrah, Rasulullah saw memberikan kepercayaan kepada Abu Bakar untuk memimpin rombongan kaum muslimin berhaji ke Mekkah. Pada saat Rasulullah saw menderita sakit menjelang wafatnya, Rasulullah saw  memberi kepercayaan kepada Abu Bakar uuntuk mengimami shalat berjamaah.
Rasulullah saw wafat pada hari Senin Rabi'ul awwal tahun 11 hijrah dalam usia 63 tahun. Ketika itu Abu Bakar baru pulang dari luar kota. Setelah mendengar berita kematian Rasulullah saw, Abu Bakar bergegas ke rumah 'Aisyah, tempat disemayamkannya jenazah Rasulullah saw. Tutup muka Rasul dibuka, lalu diciumnya wajah beliau dan Abu Bakarpun menangis.
Sementara itu di rumah Bani Sa'adah, kaum Anshar mengadakan perundingan untuk memilih pemimpin (khalifah) pengganti Rasulullah saw. Merekapun sepakat mengangkat Sa'ad bin Ubadah sebagai khalifah.
Abu Bakar mengetahui hal itu, maka dia bersama Umar bin Al Khathab dan Abu Ubadah pergi ke rumah Bani Sa'adah. Maka terjadilah perdebatan sengit di antara mereka. Masing-masing pihak baik dari golongan Anshar maupun Muhajirin menginginkan kekhalifahan tersebut.
Pada saat itu Abu Bakar mencalonkan Umar bin Al Khathab dan Amir bin Jarrah sebagai khalifah. Sementara Umar bin Al Khathab justru mengusulkan agar Abu Bakar yang diangkat menjadi khalifah.. Sedangkan Zaid bin Tsabit al Anshari justru mengusulkan agar khalifah dipengang oleh  kaum Muhajirin. Lantas diapun mengusulkan Abu Bakar yang diangkat sebagai khalifah dan meminta kepada kaum Muhajirin dan Anshar membaiat kepadanya. Dan kaum musliminpun setuju dengan usulan itu, maka diangkatlah Abu Bakar sebagai khalifah pengganti Rasulullah saw.
Setelah itu Abu Bakar dengan didiringi kaum muslimin pergi ke masjid dan menyampaikan khutbahnya. "Saudara-saudaraku kaum muslimin! Aku telah kalian pilih sebagai kahlifah, padahal aku tidak lebih pintar dan mulia daripada kalian. Apabila nanti aku berbuat baik, maka bantulah aku. Namun apabila nanti aku berbuat salah, jangan segan-segan untuk menegurku dan betulkanlah! Berkata benar itu adalah amanah, berbohong itu adalah khianat. Jangan ada seorangpun dari kita yang berani meninggalkan jihad fisabilillah! Patuhilah kepada semua perintahku selamma aku mematuhi perintah allah dan Rasul-Nya. Apabila aku melanggar perintah Allah, janganlah kalian mematuhi perintahku. Suatu bangsa yang tidak suka mengorbankan jiwa dan harta bendanya akan mendapat kehinaan dan keruntuhan. Dan suatu bangsa yang banyak mengerjakan kejahatan seperti , aniaya, dusta , tipu dan zina akan mendapat kemiskinan dan kesengsaraan. Tetaplah tekun mendirikan shalat. Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada kita semua."
Maka resmilah Abu Bakar menjadi khalifah. Meskipun demikian dia masih tetap berdagang untuk menghidupi keluarganya dan berperilaku sebagaimana sebelum di angkat sebagai khalifah.
Menjelang Rasulullah saw meninggal terjadilah pembunuhan  terhadap Zaid yang dilakukan kaum kafir Ubna. Maka Rasulullah saw mengirim pasukan untuk menyerang kaum kafir itu yang dikomandani seorang pemuda yang bernama Usamah bin Zaid, yang pada waktu itu baru berusia 17 tahun.. Akan tetapi baru saja Usamah berangkat, tiba-tiba terdengar berita wafatnya Rasulullah saw. Maka kembalilah pasukan itu ke Madinah.
Setelah Abu Bakar diangkat sebagai khalifah, dia meneruskan rencana Rasulullah saw memerangi kaum kafir Ubna tersebut. Maka Usamah bin Zaid bersama pasukannya berangkat dengan diantar oleh Abu Bakar sampai di perbatasan kota. Dan Abu Bakarpun berkhutbah: "Janganlah kalian berlaku curang, dan janganlah meninggalkan teman! Tentara Islam tidak boleh menganiaya dan membunuh anak-anak, orang tua dan wanita. Janganlah kalian merusak pohon-pohon yang sedang berbuah.” Empat puluh hari kemudian, Usamah dan pasukannya kembali ke Madinah dengan membawa kemenangan.
Setelah Rasulullah saw wafat, banyak kaum yang murtad, kembali kepada kepercayaan lama. Mereka terdiri atas dua golongan. Golongan pertama, menyatakan murtad dari Islam dengan terang-terangan. Golongan ini dipimpin oleh Musailimah bin Sumamah, yang dikenal dengan Musailimah Al Kadzdzab dan Thulaihah bin Khuwailid. Musailimah pernah bertugas sebagai sekretaris Rasulullah saw. Ia beranggapan bahwa Al Qur'an adalah ciptaan Rasulullah saw. Maka ia merasa sanggup berbuat seperti itu. Maka mengakulah dia sebagai nabi. Ia berhasil mengumpulkan pengikutnya kira-kira sebanyak 40.000 orang.
Thulaihah bin Khuwailid sebelum masuk Islam adalah pendeta yang thaat. Ia mempunyai pengaruh besar di kalangan Yahudi. Golongan murtad kedua dipimpin oleh Malik bin Nuwariah. Mereka tidak terang-terangan menyatakan keluar dari Islam. Tetapi mereka menolak membayar zakat, walaupun mereka bersyahadat dan menegakkan shalat.
Abu Bakar mengirim surat peringatan kepada kedua golongan tersebut dan seruan kembali kepada Islam. Peringatan dan seruan itu tidak mereka hiraukan dan setelah bermusyawarah dengan kaum muslimin, Abu Bakar memutuskan untuk memaksa kembali ke dalam Islam secara militer, dengan memeranginya. Akibat penyerangan tersebut banyak kaum murtadin yang melarikan diri, sebagian tertawan sebagian lagi kembali kepada Islam.
Kekuasaan Islam semakin meluas setelah Abu Bakar menjadi khalifah. Untuk menghadapi imperium besar dan kuat yang masih musyrik saat itu, yaitu imperium Persi, Abu Bakar mengirim dua pasukan yang kuat. Satu pasukan dipimpin Khalid bin Al Walid untuk menyerbu daerah Iblah, sedang pasukan yang lain dipimpin oleh Iyad bin Qanan untuk menyerbu daerah-daerah lainnya.
Pertempuran itu dimenangkan kaum muslimin, bahkan pasukan Khalid bin al Walid dapat menguasai ibu kota Iraq. Kota ini akhirnya dijadikan maskas tentara Islam untuk menaklukkan daerah-daerah lain.
Pada tahun 12 hijrah, Abu Bakar mengerahkan pasukan untuk menghadapi Romawi di Suriah, yang dipimpin oleh Khalid bin Sa'ad. Sampai di perbatasan Suriah, Khalid bin Sa'ad meminta bantuan pengiriman pasukan kepada Abu Bakar, karena pasukan Romawi jauh lebih besar daripada pasukannya..
Abu Bakar mengirimkan empat pasukan bantuan yang masing-masing dipimpin oleh Amr bin Ash yang berangkat melalui Palestina, Syahrubil bin Hasanah yang melalui daerah Ardam, Yazid bin Mu'awiyah yang melalui daerah Balka, dan Abu Ubaidah yang menyerang melalui daerah Himas.
Setelah keempat pasukan itu bertemu, mereka bermusyawarah kembali karena pasukan musuh yang berjumlah lebih dari 240.000 orang, masih jauh lebih besar dari pasukan muslimin. Merekapun meminta bantuan tambahan pasukan lagi kepada Abu Bakar. Maka Abu Bakar memerintahkan Khalid bin Al Walid untuk memimpin pasukan tambahan. Khalid bin Al Walid dan pasukannya berangkat menuju Yarmuk.
Setelah Khalid tiba di Yarmuk, mereka menyusun rencana penyerangan, sedangkan jumlah tentara muslimin saat itu sekitar 40.000 orang. Pertempuran berjalan sangat dahsyat, walaupun jumlah pasukan tidak seimbang. Namun, dengan semangat jihad yang menyala-nyala demi lii'la'i kalimatillah, pasukan Romawi perlahan-lahan dapat dipukul mundur. Dan peperangan dimenangkan kaum muslimin. Walaupun jumlah tentara Islam yang syahid saat itu mencapai sekitar 30.000 orang.
Akibat peperangan yang sering dihadapi kaum muslimin, banyak di antara para penghafal Al Qur'an yang syahid. Umar bin Al Khathab mengusulkan kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan dan menyalin kembali tulisan ayat-ayat yang masih tercecer di tangan para sahabat. Maka Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit Al Anshari melaksanakan tugas tersebut. Dan setelah selesai salinan itu disimpan di rumah Hafshah binti Umar bin Al khathab.
Pada hari Senin, 21 Jumadil Akhir 13 H, Abu Bakar Ash shiddiq wafat. Kepemimpinannya yang singkat membawa berkah yang sangat besar bagi Islam dan Kaum muslimin.
Read More →

ZUBAIR BIN AWWAM

0 komentar
          Namanya Az Zubair bin Al Awwam bin Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushai bin Kilab bin Murah bin Ka’ab bin Luay. Nasabnya bertemu Rasulullah saw pada Qushai bin Kilab.Demikian pula ibunya, Shafiah, adalah saudar a bapak Rasulullah saw.
Dia seorang yang berbudi tinggi dan berakhlaq mulia, penunggang kuda yang masyhur, pahlawan yang gagah perkasa dengan pengabdian yang luar biasa. Dia juga seorang hartawan dengan kekayaan yang melimpah, yang semuanya dibelanjakan untuk membela Islam, sehingga pada waktu kematiannya, ia meninggalkan hutang. Iapun sempat berpesan kepada Abdullah, anaknya ”Bila aku tak mampu membayar hutang, minta tolonglah kepada maulana (tuan kita)!” Abdullah bertanya ”Maulana mana yang ayah maksud?” Az Zubair menjawab ”Allah, maulana dan penolong kita yang paling utama.”
Thalhah dan Az Zubair, ibarat dua orang saudara kembar. Hampir setiap disebut nama Thalhah,  pastilah disebut juga nama Zubair. Begitu pula setiap disebut nama Zubair, pastilah disebut orang pula Thalhah. Pada waktu Rasulullah saw mempersaudarakan para shahabatnya di Mekkah sebelum  Hijrah, beliau telah mempersaudarakan antara Thalhah dengan Zubair. Sudah semenjak lama Nabi saw memperkatakan keduanya secara bersamaan, seperti kata beliau: ”Thalhah dan Zubair adalah tetanggaku di surga.”
Thalhah dan Zubair, keduanya mempunyai banyak persamaan dalam aliran kehidupan. Persamaan itu antara lain sejak pertumbuhannya di masa remaja, kekayaan, kedermawanan, keteguhan dalam beragama dan kegagahan-keberananian. Keduanya termasuk orang-orang angkatan pertama masuk Islam dan tergolong kepada sepuluh orang yang diberi kabar gembira oleh Rasulullah saw masuk surga. Keduanya juga sama termasuk kelompok shahabat, ahli musyawarah yang enam, yang diserahi tugas oleh Umar bin Khatab memilih khalifah sepeninggalnya. Akhir hayatnya juga bersamaan secara sempurna, bahkan satu sama lain tidak berbeda.
Thalhah dan Az Zubair termasuk dalam rombongan pertama yang masuk Islam, dan sebagai perintis yang telah memainkan peranan  yang penuh berkat di rumah Al Arqam. Usia Az Zubair waktu itu baru lima belas tahun. Dia adalah seorang penunggang kuda dan pemberani sejak kecilnya. Dia adalah orang yang menghunuskan pedang pertama kali untuk membela Islam.
Pada hari-hari pertama dari Islam, saat itu jumlah kaum muslimin masih sedikit sekali, hingga mereka selalu bersembunyi-sembunyi di rumah Arqam, tiba-tiba pada suatu hari tersebar bahwa Rasul terbunuh. Ketika itu, Az Zubair menghunus pedang dan mengacungkannya, lalu ia berjalan di jalan-jalan kota Mekkah, padahal usianya masih muda belia. Ia pergi meneliti berita tersebut dengan bertekad seandainya berita itu ternyata benar, maka niscaya pedangnya akan menebas leher orang-orang kafir Quraisy sehingga ia mengalahkan mereka, atau mereka menewaskannya.
Di suatu  tempat ketinggian kota Mekah, Rasulullah saw menemukannya, lalu bertanya akan maksudnya. Az Zubair menyampaikan berita tersebut. Maka Rasulullah saw memohonkan bahagia dan mendo’akan kebaikan baginya serta keampuhan bagi pedangnya.
Az Zubair adalah seorang bangsawan terpandang dalam kaumnya, namun ia juga menanggung penderitaan akibat penyiksaan orang kafir Quraisy. yang dipimpin pamannya sendiri. Dia pernah disekap di suatu kurungan, kemudian dipenuhi dengan hembusan asap api agar sesak nafasnya, lalu dipanggilnya Az Zubair di bawah tekanan siksaan itu: ”Tolaklah olehmu Tuhan Muhammad itu, nanti  kulepaskan kamu dari siksa ini.” Tantangan itu dijawab oleh Zubair dengan pedas dan mengejutkan: ”Tidak, demi Allah, aku tak akan kembali kepada kekafiran untuk selama-lamanya!” Padahal pada waktu itu ia masih sangat belia.
Az Zubair ikut berhijrah ke Habsyi (Ethiopia) dua kali, yang pertama dan yang kedua Setelah kembali dari hijrah kedua, ia menyertai semua peperangan bersama Rasulullah saw. Ia tak pernah ketinggalan dalam beperang atau bertempur. Banyaknya tusukan dan luka-luka yang terdapat pada tubuhnya dan masih berbekas sesudah lukanya itu sembuh membuktikan pula kepahlawanan dan keperkasaannyanya. Salah seorang shahabatnya yang telah kenyaksikan bekas-bekas luka yang terdapat pada segenap bagian tubuhnya, berkata: ”Aku pernah menemani Az Zubair Ibnul ’Awwam pada sebagian perjalanan dan aku melihat tubuhnya, maka aku saksikan banyak sekali bekas luka goresan pedang, sedang di dadanya terdapat seperti mata air yang dalam, menunjukkan bekas tusukan lembing dan anak panah. maka kukatakan kepadanya: ”Demi Allah, telah kusaksikan sendiri pada tubuhmu apa yang belum pernah kulihat pada orang lain sedikitpun!” Mendengar itu Zubair menjawab: ”Demi Allah, semua luka-luka itu kudapat bersama Rasulullah saw pada peperangan di jalan Allah!”
Ketika perang Uhud selesai dan pasukan Quraisy berbalik kembali ke Mekkah, ia diutus Rasulullah saw bersama Abu Bakar untuk mengikuti gerakan tentara Quraisy dan menghalau mereka, hingga mereka menganggap kaum Muslimin masih punya kekuatan, dan tidak terpikir lagi untuk kembali lagi ke Madinah guna memulai peperangan yang baru. Saat itu Abu Bakar dan Zubair memimpin tujuh puluh orang Muslimin.
Sekalipun mereka sebenarnya sedang mengikuti suatu pasukan yang menang perang, namun kecerdikan dan muslihat perang yang dipergunakan oleh Ash Shiddiq, membuat orang Quraisy menyangka bahwa mereka salah menilai kekuatan kaum Muslimin, dan membuat   mereka salah berfikir, bahwa pasukan perintis  yang dipimpin oleh Az Zubair dan Ash Shiddiq dan tampak kuat, dan tampak sebagai pasukan pendahulu dari bala tentara Rasulullah saw yang menyusul di belakang, dan akan tampil menghalau mereka dengan kekuatan dahsyat. Karena itu  mereka bergegas mempercepat perjalanannya dan bersegera  pulang ke Mekkah.
Pada Pertempuran Yarmuk, Az Zubair merupakan seorang prajurit yang memimpin langsung suatu pasukan. Sewaktu ia melihat sebagian besar anak buah yang dipimpinnya merasa gentar mengahadapi bala tentara Romawi yang jumlahnya berlipat ganda bergerak maju, ia meneriakkan: ”Allahu Akbar” dan maju membelah pasukan musuh yang mendekat. Seorang diri ia menyerang dengan mengayunkan pedangnya, kemudian ia kembali ke tengah-tengah barisan musuh yang dahsyat itu dengan pedang ditangan kanannya.
Az Zubair ra sangat merindukan syahid. Bahkan ia  pernah berkata: ”Thalhah bin Ubaidillah memberi nama anak-anaknya dengan nama Nabi-nabi padahal sudah sama diketahui bahwa tak ada nabi lagi sesudah nama Muhammad saw, maka aku menemai anak-anakku dengan nama para syuhada, semoga mereka berjuang mengikuti syuhada”.
Di antara anaknya diberi nama Abdullah, sebagaimana Abdullah bin Jahsy yang telah mati syahid, al Munzir sebagaimana Al Mundzir bin Amar yang telah syahid, Urwah sebagaimana Urwah bin Amar, Hamzah sebagaimana Hamzah bin Abdul Muthalib yang telah syahid, Ja’far sebagaimana Ja’far bin Abu Thalib yang telah syahid, mush’ab sebagaimana Mush’ab bin Umair yang telah mati syahid, dan juga Khalid sebagaimana Khalid bin Sa’id yang juga telah mati syahid.
Az Zubair telah menjalani kehidupannya dengan sempurna dengan senantiasa berperang di jalan Allah. Dia menyaksikan perang Uhud, dan menyaksikan pula pamannya, Hamzah terbunuh serta mayatnya dicincang oleh orang kafir Quraisy.
Dalam perang melawan Yahudi Bani Quraidhah, Az Zubair berdiri di depan benteng musuh yang kuat dengan mengatakan: ”Demi Allah, biar kami rasakan sendiri apa yang dirasakan Hamzah, atau kalau tidak akan kami tundukkan benteng mereka!” Kemudian Az Zubair dan Ali bin Abi Thalib terjun ke benteng musuh dan berhasil menebarkan rasa takut pihak musuh, sampai akhirnya musuh membukakan pintu-pintu benteng tersebut.
Dalam perang Hunain, Az Zubair menyerbu pasukan Hawazin yang dipimpin Malik bin Auf seorang diri dan berhasil memporak-porandakan kesatuan mereka. Rasulullah saw pun memuji kepadanya: ”Setiap nabi mempunyai pembela dan pembelaku adalah Az Zubair bin Awwam.”
Dalam perang Jamal, Az Zubair dan juga Thalhah berada dipihak Aisyah, penentang Ali bin Abi Thalib, sehingga akhirnya keduanya menyadari kebenaran ada dipihak Ali dan keduanya pun berlepas diri dari peperangan. Maka seorang pembunuh yang curang berhasil membunuhnya pada waktu dia shalat. Pembunuh tersebut menghadap kepada Ali bin Abi Thalib dengan senang hati sambil membawa pedang Az Zubair yang dirampasnya.
Namun Ali mengusir pembunuh tersebut dengan berkata: ”Sampaikan berita kepada pembunuh putera Ibu Shafiyah itu, bahwa untuknya telah disediakan api neraka.” Ali pun mencium pedang Az Zubair sambil menangis dan berkata: ”Demi Allah, pedang ini sudah banyak berjasa, dipergunakan oleh pemiliknya untuk melindungi Rasulullah dari marabahaya.” Ali mengatakan pula: ”Selamat dan bahagia bagi Az Zubair dalam kematian sesudah mencapai kejayaan hidupnya.”
Read More →

SEJARAH POLIGAMI

0 komentar

Sebenarnya, sistem poligami sudah meluas dipraktikkan oleh kebanyakan bangsa sebelum kedatangan Islam. Di antara bangsa-bangsa yang menjalankan poligami adalah bangsa Ibrani, Arab Jahiliah, dan Cisilia. Bangsa-bangsa inilah yang kemudian melahirkan sebagian besar penduduk yang menghuni negara-negara Rusia, Lithuania, Estonia, Polandia, Cekoslowakia, dan Yugoslavia. Sebagian dari orang-orang Jerman dan Saxon melahirkan sebagian besar penduduk yang menghuni negara-negara Jerman, Swiss, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia, Norwegia, dan Inggris.
Jadi, tidak benar jika dikatakan bahwa Islamlah yang mula-mula membawa sistem poligami. Sebenarnya, hingga sekarang, sistem poligami ini masih tetap tersebar di beberapa bangsa yang tidak beragama Islam, seperti orang-orang Afrika, Hindu India, Cina, dan Jepang. Juga tidak benar jika dikatakan bahwa sistem ini hanya berlaku di kalangan bangsa-bangsa yang beragama Islam. Sebenarnya, agama Kristen tidak melarang poligami sebab di dalam Injil tidak ada satu ayat pun yang dengan tegas melarang hal ini.
Dulu, bangsa Eropa yang pertama memeluk Kristen telah beradat istiadat dengan mengawini satu perempuan saja. Sebelumnya, mereka adalah penyembah berhala. Mereka memeluk Kristen karena pengaruh bangsa Yunani dan Romawi. Mereka mengawini satu perempuan saja karena diwarisi kebiasaan orang Yunani dan Romawi yang melarang poligami.
Setelah mereka memeluk agama Kristen, kebiasaan dan adat nenek moyang mereka ini tetap mereka pertahankan dalam agama baru ini. Jadi, sistem monogami yang mereka jalankan ini bukanlah berasal dari agama Kristen yang mereka anut, melainkan warisan paganisme (agama berhala) dahulu. Dari sinilah, gereja kemudian mengadakan bid'ah dengan menetapkan larangan poligami lalu larangan tersebut dimasukkan sebagai aturan agama, padahal Kitab Injil tidak menerangkan sedikit pun tentang pengharaman sistem ini. Sebenarnya, sistem poligami ini tidaklah dilakukan kecuali oleh bangsa-bangsa yang telah maju kebudayaannya, sedangkan bangsa-bangsa yang masih primitif jarang sekali melakukannya, bahkan bisa dikatakan tidak ada. Hal ini diakui oleh para sarjana sosiologi dan kebudayaan, seperti Westermark, Hobbers, Heler, dan Jean Bourge.
Hendaklah diingat bahwa sistem monogami merupakan sistem yang umum dilakukan oleh bangsa-bangsa yang kebanyakannya masih primitif, yaitu bangsa-bangsa yang hidup dengan mata pencaharian berburu, bertani, yang biasanya bertabiat halus, dan bangsa-bangsa yang sedang berada dalam transisi meninggalkan zaman primitifnya, yang pada zaman modern kini disebut bangsa agraris.
Di samping itu, sistem monogami tidak begitu menonjol pada bangsa-bangsa yang telah mengalami perubahan kebudayaan, yaitu bangsa-bangsa yang telah meninggalkan cara hidup berburu yang primitif menjadi bangsa peternak dan penggembala, dan bangsa-bangsa yang meninggalkan cara hidup memetik hasil tanaman liar menjadi bangsa yang bercocok tanam. Kebanyakan sarjana sosiologi dan kebudayaan berpendapat bahwa sistem poligami pasti akan meluas dan bangsa-bangsa di dunia ini banyak melakukannya bilamana kebudayaan mereka bertambah tinggi. Jadi, tidaklah benar anggapan bahwa poligami berkaitan dengan keterbelakangan kebudayaan. Sebaliknya, poligami seiring dengan kemajuan kebudayaan.
Demikian kedudukan sebenarnya sistem poligami menurut sejarah. Begitu juga sebenarnya pendirian agama Kristen. Begitu juga meluasnya sistem poligami seiring dengan kemajuan kebudayaan manusia. Hal ini kami utarakan bukan untuk mencari dalih untuk membenarkan sistem poligami ini, tetapi untuk menerangkan persoalan sesuai dengan tempatnya dan menjelaskan penyelewengan serta kebohongan sejarah dan fakta yang dikemukakan oleh orang-orang Eropa.
disadur dari buku FIQIH SUNNAH Jld 3. Sayyid Sabiq. Penerbit Pena.
Read More →